Tiga bersaudara dengan usia sama-sama belia, bahkan ada masih balita, harus menjalani kerasnya kehidupan tanpa orangtua.
Mereka hidup bersama dengan segala kekurangan dan jauh dari keramaian.
(Hidup Kekurangan Tanpa Kasih Sayang, 3 Bocah Ini Rukun Bahkan Sekolah Bawa Adik)
Nasib I Nyoman Ariya (14), I Ketut Sana (12), dan I Wayan Sudirta (4,5) mungkin tak seberuntung anak-anak seusianya.
Di saat anak-anak yang lain bisa menikmati hidup bersama keluarga tercinta, Ariya dan adik-adiknya justru harus kehilangan kasih sayang orangtua.
Ariya, Sana, dan Sudirta ditinggal ayah dan ibunya.
Ayahnya, I Nyoman Koka, meninggal dunia lima tahun lalu karena sakit. Sedangkan ibunya, Ni Wayan Sriyani, memilih untuk menikah lagi.
Adapun kakak tertuanya, I Nengah Santa, merantau ke Jembrana, Bali.
Mereka hidup bersama di gubuk yang jauh dari keramaian, di tengah Bukit Puncak Sari, Dusun Darmaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem.
Hanya dua ekor anjing penjaga rumah yang setia mendampinginya.
Saat disambangi Tribun Bali di rumahnya, Kamis (1/9/2016), kondisi ketiga anak ini membuat hati terenyuh.
Mereka hidup serba kekurangan.
Kebutuhan pokok seperti beras, sama sekali tak ada di dalam rumah dan dapurnya yang berdinding anyaman bambu.
Yang tampak di dalam rumah dan dapur hanya debu, dan pakaian bekas bergelantungan.
Cubang (tempat penyimpanan air hujan) untuk minum juga minim.
Bahkan korek api untuk menyalakan paon juga tak ada.
Walaupun hidup serba kekurangan, tiga bocah ini tak menyerah.
Demi mempertahankan hidup, mereka berusaha mencari uang untuk biaya makan maupun sekolah.
Ariya, yang saat ini tercatat sebagai siswa kelas II SMP Yayasan PKBM Ekoturin di Dusun Darmaji, menjadi tukang penek nyuh (panjat kelapa).
Dengan keahliannya ia memanjat pohon kelapa milik warga untuk memetik busung (janur).
Sedangkan Sana, siswa kelas VI SD di Desa Ban, meburuh menjadi tukang sabit untuk memberi makan ternak milik keluarganya.
Aktivitas sampingan ini dilakukan setelah pulang sekolah.
Bila tak cukup memiliki uang membeli kebutuhan makan, mereka terpaksa berharap pemberian keluarga atau warga yang tinggal di atas Bukit Puncak Sari.
Itu pun jaraknya dua kilometer.
Mereka harus melalui jalan yang terjal serta berdebu dengan berjalan kaki.
"Kalau punya beras, saya pilih masak sendiri di rumah. Kalau tidak ada, saya minta makan sama keluarga atau tetangga di atas (bukit)," tutur Ariya, sembari memasak air dengan kayu bakar di paon ditemani si bungsu.
"Kadang kakak saya, Nengah Santa, yang beri uang. Dia kerja di Negara jadi tukang panen cengkih,” lanjut Ariya, yang berperawakan kurus dan berperan sebagai "orangtua" bagi adik-adiknya.
Sang paman, I Ketut Madia, mengaku turut prihatin dengan nasib ketiga ponakannya.
Namun ia juga tak bisa berbuat banyak.
"Ketika tak ada makanan, mereka sering memilih berdiam diri di rumah. Saya hanya bisa membantu memberi makan saja," kata Madia.
Sejauh ini, kata Madia, belum ada bantuan dari pemerintah daerah.
”Sudah dua tahun lebih begini. Kasian mereka semua. Mudah-mudahan ada bantuan dari bupati atau gubernur,” harapnya.
Sumber.tribunnews.com
0 Komentar