Matahari masih di ufuk timur, tetapi belasan bocah beragam usia sudah sibuk memilah bongkahan batu dan kerikil di tepi Sungai Andreapi, kelurahan Andreapi, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Peluh bercucuran membasahi kulit mereka yang legam. Anak-anak usia sekolah itu kerap menantang terik demi mengumpulkan batu atau kerikil yang dapat dijual untuk material bangunan.
Rutinitas itu mereka lakukan seharian pada akhir pekan. Ketika waktu sekolah tiba, bocah-bocah itu mengorbankan waktu beristirahat di siang hari untuk mencari batu di sungai.
Ketika sudah jenuh bekerja, mereka bermain dengan sesama pengumpul batu, mulai dari petak umpet, main kelereng, atau berenang bersama di sela-sela batu di sungai.
Mereka melakukannya saban hari sebelum matahari terbenam. Satu demi satu bongkahan batu dan kerikil ditumpuk menjadi gundukan batu atau kerikil yang siap untuk dijual.
Butuh waktu enam hingga delapan hari bagi mereka untuk mengumpulkan satu truk batu atau kerikil. Satu truk batu dijual seharga Rp 300.000, sedangkan kerikil seharga Rp 350.000.
Ketika tidak ada pembeli, gundukan batu yang mereka kumpulkan di pinggir sungai selama berminggu-minggu kerap berhamburan dan bertebaran kembali ke dalam sungai.
Mardiana, siswi kelas V SD Anreapi, menuturkan, setiap sore ia ke tempat itu untuk mencari batu atau kerikil. Ia berinisiatif mengerjakan itu tanpa disuruh oleh siapa pun, termasuk kedua orangtuanya.
Ia merasa prihatin dan kasihan karena orangtuanya berpenghasilan kecil. Keduanya bekerja sebagai petani penggarap kebun milik warga. Uang yang mereka dapatkan belum tentu cukup untuk membeli kebutuhan hidup, seperti beras dan lauk-pauk.
Kadang kala, Mardiana dan adik-adiknya hanya makan pisang rebus selama berhari-hari sebagai pengganti nasi.
"Saya sendiri yang mau cari batu dan jualan sayur. Kasihan orangtua saya yang bekerja sebagai penggarap kebun warga, sering kali harus berpuasa makan karena tidak bisa beli beras," ujar Mardiana.
Menjelang pukul 17.00 Wita, Mardiana berhenti mengumpulkan batu dan bersiap menjual sayur-mayur. Ia mengumpulkan beragam jenis sayuran milik warga atau tetangga untuk dijual berjalan kaki keliling kampung.
Ia baru berhenti dan pulang ke rumah sekitar pukul 19.00. Jika mujur, Mardiana bisa memperoleh Rp 30.000 dari berjualan sayur. Itu pun harus dibagi dengan pemilik sayur sebesar Rp 20.000.
Sisa uang yang ia bawa langsung dibelikan beras di jalan sebelum diserahkan kepada ibunya. Bila uangnya tak cukup untuk membeli seliter beras, Mardiana memberikan uang itu kepada sang ibu.
Itu juga dilakukan oleh anak-anak lain di kampung tersebut. Setiap hari mereka sibuk mencari batu dan kerikil untuk menambah penghasilan orangtua mereka.
Irwan, misalnya, juga melakukan hal yang sama seperti Mardiana. Usai pulang sekolah sekitar pukul 14.00 Wita, ia langsung menuju sungai. Jika permintaan batu atau kerikil sepi seperti sekarang, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menjajakan sayur keliling kampung.
Dengan bersandal jepit, siswa kelas VI SD ini menjunjung bakul berisi sayur-mayur sejauh belasan kilometer hingga ke Kota Polewali Mandar.
Kalau semua dagangannya laku, Irwan bisa mendapatkan Rp 50.000, sebagian diantaranya untuk pemilik kebun sayur yang ia petik. Selebihnya dikumpulkan untuk membeli beras dan lauk-pauk.
Kalaupun ada uang lebih, Irwan memakainya untuk membeli kebutuhan sekolah, termasuk buku dan seragam.
Irwan dan kedua orangtuanya serta tiga saudaranya tinggal di gubuk berukuran tak lebih dari 2 meter x 3 meter. Gubuk itu menumpang di kebun milik warga.
Sebelumnya, keluarga Irwan tinggal di muara sungai. Mereka berpindah-pindah tempat tinggal karena tak memiliki lahan.
Sumbur.kompas.com
0 Komentar